POTENSI KERAWANAN PANGAN SAAT MUSIM PENGHUJAN

Istri saya mengeluh saat pulang dari pasar kemarin. Dia mengadukan pada saya bahwa hampir semua harga bahan makanan naik, dari beras hingga sayur-sayuran. Saya hanya tersenyum saja mendengar keluh kesah dari istri, ini hanyalah hal biasa dan selalu terulang saat musim penghujan mulai tiba. Memang musim penghujan dapat menimbulkan dampak yang berbeda-beda di setiap segi kehidupan. Hujan bagaikan dua sisi mata pedang yang sama tajamnya, tergantung bagaimana kita memaknai musim penghujan yang selalu datang setiap tahun. Musim penghujan bisa membawa berkah dan sekaligus bencana. Berkah musim penghujan bagi yang sangat mengharapkan datangnya hujan akibat kekeringan yang melanda hampir sepanjang tahun. Tetapi, hujan juga membawa musibah bagi yang kurang bisa bersahabat dengan alam dan iklim di Indonesia yang memang curah hujannya cukup tinggi sepanjang tahun. Petani sayuran dan tanaman pangan adalah sebagian kecil pihak yang cukup merasa dirugikan oleh datangnya musim penghujan. Karakteristik tanaman yang mereka tanam hanya membutuhkan air yang cukup, bukan berlebihan, sehingga terkadang hasil panen menjadi rusak atau tidak optimal akibat air yang terlalu banyak turun dari langit.

Sebenarnya, semua hal yang diciptakan oleh Tuhan bagi dunia kita ini, memiliki fungsi dan kegunaan masing-masing, seperti misalnya Tuhan menciptakan hujan untuk kita. Sebagai manusia yang dikaruniai oleh Tuhan akal dan pikiran yang nyaris sempurna, seharusnya kita dapat memanfaatkan dan mengelola apa yang telah diberikan Tuhan dengan bijak, bukan malah merutuk dan menyesalinya. Jika kita memiliki keinginan yang kuat untuk memanfaatkannya, musim penghujan sebenarnya bukanlah suatu musibah bagi keberadaan pangan di negeri kita ini.

Indonesia sebenarnya kaya akan bahan makanan pokok yang mengandung karbohidrat tinggi selain nasi. Sebut saja jagung, sagu, dan ketela. Bukankah di jaman dahulu kala nenek moyang kita sudah makan makanan selain nasi dan ternyata masih dapat bertahan hidup ? Lalu, mengapa kita sekarang menjadi pemakan nasi yang aktif ? Saya tidak tahu persis sejak kapan rakyat Indonesia mulai menggunakan nasi sebagai bahan makanan pokoknya dan budaya ini terus berlanjut hingga saat ini. Memang, banyak sekali yang mengatakan bahwa kalau belum makan nasi, itu berarti belum makan. Ini sebenarnya adalah masalah pola pikir dan kebiasaan saja, yang menurut saya relatif lebih mudah untuk diubah. Teknologi penyajian makanan yang makin maju saat ini sebenarnya semakin memudahkan kita dalam mengolah berbagai bahan makanan pokok alternatif selain nasi. Jika hal ini juga didukung oleh pemerintah, bukan tidak mungkin akan semakin cepat saja rakyat Indonesia mengalihkan menu makanan pokoknya dari nasi ke bahan makanan pokok lainnya.

Namun, kenyataannya saat ini sungguh amat bertolak belakang. Demi mengatasi krisis beras yang sering melanda negeri kita, pemerintah malah dengan bangganya melakukan impor beras dari negara lain. Bahkan tidak hanya beras, seperti yang pernah terjadi saat harga cabai melambung tinggi, pemerintah juga menjawab krisis cabai dengan mengimpor dari negara tetangga. Pemecahan masalah krisis pangan secara instan oleh pemerintah dengan impor ini seakan menjadi suatu hal yang jamak dan berulang kali diterapkan. Tetapi, maukah kita selalu menjadi bangsa yang selalu bergantung pada bangsa lain hanya dalam soal makanan ? Padahal di negara kita sendiri,  masih sangat banyak kekayaan alam yang belum tereksplorasi, terutama dalam bahan makanan pokok pengganti beras atau nasi. Bagaimana bangsa ini bisa maju dan berkembang jika hanya dalam soal makanan saja kita masih bergantung pada bangsa lain ? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini harus segera dijawab oleh pemerintah dengan segera.

Teknologi pertanian yang makin maju dan inovatif belakangan ini juga sebenarnya dapat memberikan peran yang penting dalam membantu memenuhi kebutuhan akan pangan. Modifikasi terhadap varietas tanaman melalui persilangan dan teknik budidaya tanaman juga sangat besar pengaruhnya dalam mengatasi krisis pangan akibat musim yang tak menentu. Sudah banyak diciptakan varietas tanaman pangan serta sayuran baru yang relatif tahan terhadap segala kondisi ekstrim. Namun, semua itu hanyalah sebatas hasil penelitian semata yang kurang mendapat respon positif dari pemerintah Indonesia sendiri untuk dapat diproduksi secara massal dan berdayaguna bagi para petani di Indonesia dan bagi pemenuhan kebutuhan pangan di negeri ini. Jika pemerintah saat ini lebih mengarahkan dan memberikan porsi cukup besar bagi pembangunannya untuk memperkuat sektor pertanian demi memperkuat ketahanan pangan di negeri ini, mungkin saja kerawanan pangan akibat musim yang tak menentu belakangan ini tak mungkin terjadi.

Zonasi terhadap alternatif tanaman pangan juga nampaknya perlu diterapkan di negeri kita ini. Tujuannya agar tanah di Indonesia dapat didayagunakan lebih optimal dalam mendukung ketahanan pangan. Jika dalam pelajaran IPS dulu kita mengenal adanya corn belt, cotton belt, atau rice belt, nampaknya konsep tersebut juga masih manjur jika diterapkan pada kondisi sekarang. Jawa, sebagai misal, karena irigasinya bagus, bisa saja dijadikan rice belt. Sedangkan daerah Indonesia bagian timur karena kondisi tanahnya yang cocok untuk ditanami sagu, maka bisa saja dijadikan sagu belt. Namun, itu semua tak akan bisa berjalan jika mind set rakyat Indonesia yang harus makan nasi jika ingin kenyang tak diubah terlebih dahulu. Selain itu, melalui konsep zonasi ini, kelangkaan terhadap sumber bahan makanan juga dapat teratasi jika suatu saat nanti ada bencana alam yang datang tanpa permisi.

Sebagai penutup, potensi kerawanan pangan ini sebenarnya dapat dihindari jika kita dapat mengelola apa yang sudah ada di alam Indonesia ini dengan baik dan benar. Pemenuhan kebutuhan pangan sendiri bukanlah semata-mata urusan pemerintah saja. Namun, perlu juga partisipasi aktif dari seluruh rakyat Indonesia agar tak perlu lagi terjadi kerawanan pangan di negara kita ini. Semoga suatu saat nanti Indonesia bisa kembali menjadi “macan” Asia dalam hal pangan seperti jaman dulu.

SEBUAH KOTAK AJAIB BERNAMA TELEVISI

Siapa yang tidak kenal dengan benda yang satu ini ? Ya, sebuah kotak ajaib bernama televisi. Kotak ajaib ini sudah mampu membius anak-anak hingga orang dewasa. Televisi bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan primer dalam rumah tangga belakangan ini, hampir sama kedudukannya dengan sembako. Jika sehari saja tidak menonton acara televisi, seakan ada yang kurang. Televisi sudah menjadi candu yang adiktif bagi kebanyakan orang yang hidup di jaman millennium. Sejak ditemukan pertama kali pada sekitar tahun 1920-an oleh John Logie Baird, televisi seakan menjadi suatu bentuk hiburan baru yang dapat menyambangi siapapun di rumah. Murah, ekonomis, dan instan. Media cetak seperti buku, koran, majalah dan sebagainya menjadi tersingkirkan dengan adanya televisi. Bahkan radio yang menjadi primadona di jaman dahulu kala, harus rela digeser tempatnya di ruang keluarga oleh televisi.  Di tengah kesibukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari, televisi seakan menjadi suatu jawaban bagi manusia untuk mendapatkan kemudahan akses informasi dan hiburan. Manusia jaman sekarang seakan sudah tak punya waktu lagi untuk sekedar membaca buku atau majalah karena tuntutan jaman sekarang yang mengharuskan manusia harus bertindak cepat dan instan jika tidak ingin digilas oleh kejamnya jaman. Dan televisi-pun menjadi jawaban yang paling logis dalam menjawab tuntutan tersebut.  Tetapi, dibalik itu semua, sadarkah bahwa saat ini umat manusia sedang dipecundangi oleh sebuah kotak ajaib bernama televisi ?

Saya masih teringat masa kecil dulu saat ibu dan guru TK saya begitu piawai dalam menceritakan dongeng-dongeng yang penuh pelajaran dan filosofi tentang kehidupan nan tinggi. Begitu tersihirnya anak-anak di jaman itu dengan kekuatan dongeng yang terucap secara indah serta penuh kebajikan. Bahkan bisa dikatakan sangat inspiratif menurut pendapat saya. Berkumpul bersama teman-teman sebaya di sebuah taman bacaan atau rental buku bacaan sambil asyik membaca buku, komik, atau novel kesukaan adalah suatu kegiatan yang amat menyenangkan dan indah saat itu. Namun, apa yang terjadi dengan anak-anak jaman sekarang sungguh membuat saya miris. Anak-anak tak lagi menyukai dongeng, tetapi malah mengidolakan tokoh kartun yang ada di televisi. Anak-anak juga tak lagi memenuhi taman-taman bacaan atau perpustakaan, melainkan sibuk di rental game atau menonton film kesukaannya di televisi. Jarang sekali saya lihat anak-anak menjadi kutu buku di jaman sekarang, yang paling banyak adalah anak-anak kutu internet, kutu televisi, kutu handphone, dan kutu game. Memang sebegitu powerfull-nya sebuah kotak ajaib bernama televisi ini, hingga bisa mengubah pola pikir dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan, hanya untuk mendiamkan seorang anak yang menangis, televisi-lah yang menjadi pengalih perhatian, seakan orang tua sudah tak sanggup lagi membujuk anaknya yang sedang merajuk. Tetapi, apakah kita rela jika anak kita terus menerus “diasuh” oleh benda yang bernama televisi ?

Sudah banyak sekali penelitian yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri tentang dampak menonton televisi. Sebut saja obesitas, meningkatnya kadar kolesterol dalam darah, hingga penyakit kardiovaskular lainnya akibat terlalu lama menonton televisi. Selain itu, dari segi sosial dan kepribadian, televisi juga cenderung membentuk seseorang menjadi bersifat asosial dan cenderung temperamental   Namun, ada juga dampak positif televisi seperti misalnya melatih kemampuan berbahasa bagi anak. Sebenarnya televisi bagai mata pedang yang kedua ujungnya sama tajam, tergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya. Televisi dapat menjadi suatu media pembelajaran yang bagus bagi siapa saja, asal program atau tayangan yang disajikan mengandung nilai-nilai pengetahuan, penanaman budi pekerti yang baik, hingga pembentukan pola pikir ke arah yang lebih baik dan positif. Sebaliknya, televisi dapat pula berdampak negatif jika tayangan atau program yang ditayangkan sarat dengan kekekerasan/anarkisme, penyalahgunaan obat terlarang, hingga pergaulan bebas. Namun, program televisi yang mengedepankan nilai-nilai positif sangat jarang saya temui di televisi domestik Indonesia. Acara-acara televisi di Indonesia cenderung tidak mendidik dan hanya mengeksplorasi budaya yang sifatnya instan serta hedonis. Sebagai contoh adalah tayangan sinetron dan reality show yang makin menjamur dan hampir ada pada setiap stasiun televisi di negeri kita ini. Demi mengejar sebuah rating yang tinggi atas nama komersialisme, tayangan-tayangan tak mendidik ini malah ditempatkan di prime time alias menjadi tayangan yang sering ditonton sekeluarga.

Sungguh suatu kondisi yang tak layak bagi perkembangan mental dan intelektual para generasi muda kita sekarang, apabila terus menerus dicekoki oleh televisi dengan tayangan-tayangan sampah semacam sinetron maupun reality show. Yang ditakutkan adalah di masa depan, para generasi muda ini cenderung berpikir secara instan untuk mencapai sesuatu, bahkan bila perlu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, seperti layaknya yang tergambar di sinetron maupun reality show. Jika hal ini berlanjut, bukan tidak mungkin suatu saat bangsa kita akan runtuh akibat krisis moral sebagai pengaruh dari tayangan televisi yang tak mendidik. Entah sampai kapan kondisi ini akan terus berlanjut dan semakin merusak kreativitas serta pola pikir positif anak-anak jaman sekarang. Saya hanya bisa berbaik sangka pada seluruh raja televisi domestik di Indonesia agar dapat lebih baik dalam memberikan tayangan yang patut dinikmati oleh masyarakat Indonesia, supaya negara kita lebih maju akibat pengaruh tontonan yang baik dari sebuah kotak ajaib bernama televisi.

MAKNA HIDUP ALA SLEEPING BEAUTY (2011)

Sebenarnya jarang sekali saya nonton film drama meski sangat hobi menonton film dengan media DVD. Koleksi saya kebanyakan adalah film horror dan thriller karena saya memang “penggila” kedua jenis genre film tersebut. Atas saran teman cewek saya yang hobi nonton film drama dan demi menghormati beliau, akhirnya saya coba tonton film drama berjudul Sleeping Beauty (2011). Awalnya sih malas banget nonton film beginian, karena saya membayangkan pasti film ini nggak jauh dari air mata (namanya juga film drama)….I really hate tears, except tears of fear. Teman tadi dengan berapi-api menjelaskan pada saya bahwa film ini sangat layak tonton, apalagi buat orang seperti saya yang nggak hobi sama sekali nonton film drama, karena ceritanya sangat original menurut dia. Apalagi film ini juga sempat dapat penghargaan di Sundance Festival tahun 2011.

Pemeran utama Sleeping Beauty ini adalah seorang aktris muda nan cantik asal Australia bernama Emily Browning. Disini dia berperan sebagai Lucy, seorang anak kuliahan yang sedang getol mencari uang demi membiayai segala kebutuhan hidup dan studinya. Lucy memiliki pekerjaan paruh waktu sebagai waitress di rumah makan, tukang fotokopi di sebuah small office, dan terlibat juga sebagai relawan dalam penelitian pacarnya yang kuliah di kedokteran. Selain bekerja dan belajar, Lucy juga hobi banget yang namanya dugem (termasuk melakukan free sex dengan siapapun asal dia bisa membayar) dan nge-drugs alias menggunakan heroin.

Suatu saat, Lucy membaca iklan lowongan pekerjaan di sebuah surat kabar yang menawarkan pekerjaan sebagai “exotic waitress” dengan bayaran yang cukup tinggi bagi anak kuliahan sekelas Lucy. Ternyata Lucy tertarik dengan pekerjaan tersebut dan akhirnya melamar serta diterima sebagai “exotic waitress”. Tugasnya sederhana saja, dia harus menghidangkan makanan dan minuman bagi tamu yang “spesial” dengan….. hanya mengenakan pakaian dalam saja…….. (wish that I could be that guest…hehehe). Lucy sangat menikmati pekerjaan ini hingga akhirnya karena terdesak kebutuhan akibat dia terancam tidak memiliki tempat tinggal lagi, Lucy mau menerima tawaran yang cukup ekstrim. Dia mau dibayar lebih oleh tempatnya bekerja sekarang sebagai”exotic waitress” hanya dengan minum suatu ramuan hingga tertidur, hingga tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat dia tertidur.

Induk semang Lucy (Clara), yang mempekerjakan Lucy sebelumnya sebagai “exotic waitress”, ternyata memanfaatkan tubuh Lucy saat tidur agar bisa “dinikmati” oleh laki-laki yang sudah membayar dengan harga tinggi pada Clara. Dalam hal  ini, Clara menerapkan suatu peraturan yang tidak boleh dilanggar oleh para kliennya, yaitu dilarang melakukan penetrasi seksual dan melakukan segala tindakan yang dapat menimbulkan bekas apapun di tubuh Lucy, demi menjaga kerahasiaan proses tersebut. Lucy juga dilarang bertanya oleh Clara tentang apa saja yang terjadi selamanya dirinya tidur, demi menjaga kerahasiaan dan kepercayaan kliennya. Pokoknya Lucy terima beres saja dan mengikuti proses yang ada dan mendapat bayarannya.

Hingga pada suatu saat, musibah yang datang bertubi-tubi pada Lucy seakan membuka mata hati dan pikirannya. Pacarnya meninggal, dipecat sebagai tukang fotokopi dan juga kehilangan bayarannya sebagai relawan, selain kuliahnya juga amburadul karena dia terlalu sibuk bekerja. Lucy menutupi kesedihannya dengan tetap dugem, nge-drugs, dan menjadi pemuas laki-laki saat dia tertidur. Demi memenuhi rasa penasarannya,Lucy akhirnya membeli sebuah kamera pengintai kecil untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat dia tertidur. Ada seorang klien Clara, saat Lucy telah memasang kamera pengintai tersebut, telah merencanakan untuk mati saat tertidur bersama Lucy. Saat si klien ini telah mati, Clara berusaha membangunkan Lucy yang dikiranya sudah mati juga. Alangkah kagetnya Lucy saat dia terbangun ada seorang laki-laki yang telah tidur bersamanya. Rekaman dari kamera Lucy hanya menunjukkan saat Lucy tidur lelap bersama seorang lelaki di sampingnya. That’s the end of the movie, dibuat menggantung dan tanpa jawaban sehingga penonton diminta menyimpulkan sendiri akhir ceritanya.

Satu hal yang membuat saya sangat miris saat menonton film ini adalah satu dialog yang terjadi saat Lucy sedang diwawancarai oleh Clara. Clara berkata, “There will be no penetration. Your vagina is just like a…..temple, it’s sacred”. Eh, nggak taunya, si Lucy menjawab dengan entengnya, “My vagina is not like a temple, it’s not sacred”. Maaf, saya bukan menilai dialog ini dari unsur pornografi, tapi dari dalamnya makna dialog ini sendiri. Busyet deh, saya jadi kaget sekaget-kagetnya mendengar jawaban Lucy. Inikah sebenarnya potret remaja jaman sekarang ? Seakan keperawanan seorang perempuan sudah tidak berharga lagi dan berhubungan seks dengan siapapun adalah hal yang lazim dan biasa saja, asal dapat duit.

Nampaknya fim ini telah berhasil memotret budaya apa yang sebenarnya telah berkembang di kaum perempuan muda saat ini, salah satunya mengenai keperawanan yang sudah tak ada harganya lagi dan bukan merupakan sesuatu yang sakral dan harus dijaga hingga hari pernikahan tiba. Saya tidak ingin membandingkan budaya luar yang memang menghalalkan untuk melakukan hubungan seks secara bebas dengan budaya kita yang “katanya” hal tersebut adalah hal yang masih ditabukan serta dilarang keras. Tapi, dengan banyaknya pemberitaan di media massa yang kerap mengangkat hasil survey tentang pentingnya status perawan di kalangan perempuan muda Indonesia bukanlah suatu hal yang sakral, saya makin percaya bahwa hasil survey tersebut kemungkinan benarnya hampir 99 %.

Apa yang sebenarnya dicari oleh perempuan muda kita saat ini sebenarnya ? Hingga keperawanan sendiri dapat digadaikan dengan mudahnya hanya untuk mendapatkan rupiah yang sebenarnya tidak sepadan dengan status perawan itu sendiri. Inilah sebenarnya esensi dari kehidupan itu sendiri. Kita terkadang kehilangan arah hanya demi menyembah dewa baru yang bernama uang, hingga hal-hal yang seharusnya tidak lazim untuk mendapatkan uang, menjadi cara yang halal untuk mengais rupiah. Apalagi hal ini dilakukan dengan alasan kepepet an untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti yang telah dilakukan oleh Lucy. Padahal sebenarnya, dalam film ini, Lucy telah memperoleh pekerjaan yang cukup baik sebagai seorang tukang fotokopi yang notabene ini adalah pekerjaan yang cukup baik bagi seorang perempuan seperti Lucy. Tapi, akhirnya Lucy memutuskan untuk keluar dan menerima tawaran menjadi pemuas nafsu kaum lelaki saat dia tertidur dengan bayaran yang besar.  Apakah sedemikian dangkalnya pemikiran kita saat ini hingga inilah jawaban kita dalam menghadapi kerasnya kehidupan ? Silahkan tanya hal ini pada diri sendiri.

Dalam film ini, saya juga melihat bagaimana berkuasanya uang dalam segala hal, termasuk dalam urusan seks. Kebanyakan klien Clara di film ini adalah lelaki-lelaki tua yang masih memperturutkan nafsunya, hanya karena memiliki uang. Padahal sebenarnya secara fisik mungkin mereka sudah tidak mampu melakukan hubungan seksual. Jika kita melihat secara detil dalam film ini (terutama saat berdialog), para lelaki tua ini sebenarnya adalah kaum kaya yang terpelajar. Tapi, entah karena frustasi dalam rumah tangganya, atau hanya sekedar mencari kepuasan nafsu seksualnya, dan mereka juga memiliki uang, akhirnya mereka sanggup membayar mahal pada Clara demi bisa tidur berdampingan dengan seorang gadis muda seperti Lucy. Ini juga menjadi suatu hal yang sangat menggelitik dalam benak saya, disamping kemungkinan cara yang ditempuh Clara dalam memenuhi kebutuhan kliennya dapat menjadi modus baru dalam dunia prostitusi elit.

Pesan yang ingin disampaikan dalam film ini mungkin menurut pendapat saya adalah bahwa uang atau harta tidak akan dapat membeli kebahagiaan. Dalam hal ini, saya menggarisbawahi kebahagiaan bukan hanya sekedar kesenangan dalam melakukan hubungan seksual, tapi dalam makna yang lebih luas. Dalam kehidupan, mungkin dengan uang kita bisa melakukan apapun, termasuk “menyewa” Lucy  untuk menemani kita tidur dan mendapat kepuasan walau sesaat, tapi benarkah kita sudah menjadi orang yang bahagia ? Saya teringat salah satu klien Clara yang akhirnya mati disamping Lucy berkata,”Today I break my bones . And I will always come back to you, Clara, for healing”. Sebenarnya lelaki tua ini tahu bahwa apa yang diperbuatnya dengan tidur bersama Lucy adalah salah dan menyakiti keluarganya. Tapi, apa mau dikata, kehidupan lelaki tua ini tidak bahagia dan mencari pelarian dengan “berobat” pada Clara melalui tubuh Lucy.

Satu lagi pelajaran tentang kehidupan yang bisa kita petik dari film ini, bahwa sudahkah kita dan keluarga telah mengalami kebahagiaan walau uang dan harta kita banyak ? Apakah kebahagiaan sejati itu dapat diukur dengan uang dan kekayaan ? Banyak yang berkata bahwa “money is the root of all evil” dan mungkin itu benar adanya karena hal tersebut sangat tergambar jelas dalam Sleeping Beauty ini. Termasuk nafsu Lucy untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara.

Sebagai penutup, kesan saya setelah menonton film ini adalah banyak hal yang tak kasat mata dapat mempengaruhi kita dalam memaknai hidup. Nafsu buruk adalah salah satunya. Demi memperturutkan nafsu mendapatkan uang yang lebih banyak, Lucy memaknai hidupnya dengan harus bekerja sekeras mungkin, termasuk menempuh segala cara, hingga menjual harga dirinya. Para lelaki tua yang tidur dengan Lucy memaknai kebahagiaan dalam hidupnya dengan kekayaan yang menurut mereka dapat membeli kebahagiaan yang semu. Saya akhirnya nggak jadi sebel dengan teman cewek yang telah menyuruh saya untuk menonton film ini. Ternyata dalam film drama itu tidak hanya memancing derasnya air mata penonton, tapi banyak pelajaran hidup yang bisa saya dapat. Saya juga belajar menghargai perempuan dalam hal ini karena selama ini perempuan di mata hampir sebagian besar laki-laki, hanyalah makhluk pendamping laki-laki yang harus selalu menurut pada kemauan laki-laki. Garis besarnya, saya kagum dengan semangat Lucy untuk dapat bertahan hidup meski cara yang ditempuhnya salah.

Oh ya, pengalaman paling berkesan saat nonton film ini adalah saat ending dimana setelah bangun tidur, Lucy menangis sekeras-kerasnya seperti seorang anak kecil ketika dia kaget dan mengetahui bahwa dirinya telah ditipu mentah-mentah oleh Clara karena saat tidur sebenarnya tubuhnya “dinikmati” oleh kliennya Clara. Jujur….air mata saya hampir keluar karena membayangkan perasaan jengkel Lucy karena ditipu, tapi….akhirnya air mata saya nggak jadi keluar karena keburu melototin credit title di akhir film yang memang salah satu bagian favorit saya setelah film selesai….hehehehe… nggak jadi nangis deh.

MENJADI SEORANG AYAH (Inspirasi dari film The New Daughter)

Semalam saya mengerjakan hobi yang sangat saya sukai selain bersepeda, yaitu nonton film DVD saat akhir pekan. Biasanya film yang jadi favorit saya kalau nggak horror pasti thriller, karena saya sudah kecanduan nonton film horror atau thriller sejak masih SD. Pernah dulu sampai takut ke kamar mandi sendirian habis nonton film Indonesia “Pengabdi Setan” dan akhirnya “ngompol” (oooppss…), karena saking seremnya untuk ukuran film pada era tersebut (saya ada versi YouTubenya jika ada yang berminat, please send me e-mail). Kali ini yang saya tonton adalah film The New Daughter. Bintang utamanya Kevin Costner, yang memerankan John James (kalau nggak salah), seorang penulis yang baru bercerai dan juga seorang ayah dari dua anak, yang tertua cewek (Louisa) dan yang paling kecil cowok (namanya Sam kalau nggak salah juga). Nah, duda keren bersama kedua anaknya ini diceritakan baru pindah ke sebuah rumah di kota kecil fiktif (Charleston) (masih di Amerika Serikat, lupa nama Negara bagiannya). Sebuah rumah yang indah karena punya view alias pemandangan yang ajib juga, tapi ternyata menyimpan malapetaka bagi keluarga ini.

Singkat cerita, John James merasa ada yang nggak beres dengan kelakuan Louisa setelah si Louisa ini main-main di sebuah gundukan tanah yang lumayan tinggi dekat rumah mereka. Louisa jadi suka melawan ayahnya dan uring-uringan. Bahkan ketika ayahnya melarang dia untuk main di luar rumah, Louisa tetap bandel dan nggak nurutin kemauan ayahnya. Saking penasarannya sang ayah, dia sampai konsultasi ke guru sekolahnya Louisa dan dapat penjelasan kalau anak ABG emang kaya gitu, karena pengaruh masa pubertas, jadi dia sebenarnya sedang mencari jati diri. Apalagi ortunya Louisa baru cerai, jelas ini merupakan hal yang berat buat dia untuk dihadapi. Si ayah memutuskan untuk mencari tahu cara menghadapi anak ABG dengan masa pubertasnya itu via internet, tapi nggak dapat jawaban yang cocok (habis nanyanya nggak ke mbah Google sih, pakenya mesin pencari lain J). Tiba-tiba si ayah ingat bahwa sehabis main di gundukan tanah itu,  di leher Louisa ada bekas luka yang makin hari makin melebar. Setelah browsing beberapa lama (nggak seperti disini, bukan browsing internet, malah nanya ke dukun), akhirnya dapat keterangan kalau bekas luka yang seperti itu, biasanya akibat sudah “dikawinin” sama iblis bin setan dan akan dijadikan sebagai ratu penerus iblis itu. Selain itu, si ayah juga dapat keterangan lain bahwa dulu di rumah yang dia tinggali sekarang pernah ada kejadian yang serupa dan setelah diusut ternyata sang ayah pemilik rumah yang terdahulu, sekarang jadi gila karena anak perempuannya setelah “dikawinin” iblis malah ikut-ikutan “nyetan” dan akhirnya dibakar sama ayahnya sendiri. Akhirnya John James berusaha dengan segala daya upaya yang dia bisa, ngusir setan yang sudah “ngawinin” anaknya biar nggak makin banyak keturunannya, sampai akhirnya dia sendiri mati bersama anak ceweknya setelah meledakkan sarang iblis yang ada di gundukan tanah tadi.

Terlepas dari “nyeremin”  dan “ngagetin”- nya film horror The New Daughter ini, quote yang paling “nancep” di pikiran saya adalah saat John James ketemu sama pemilik rumah yang dia tinggali sekarang (yang habis bakar anaknya sendiri dan gila), si orang tua gila ini bilang kaya gini, “A father will do anything for his daughter, even the worst thing……”. Suuuuerrrr….terkewer-kewer, saya langsung “nganga” mendengar hal ini. Saya juga menebak, si John James juga sampai rela mati bersama anak ceweknya mungkin karena kata-kata ini juga. Sekarang saya berkhayal, seandainya saya dalam posisi si John James, apa mungkin saya akan rela mengorbankan nyawa, padahal nyata-nyata anak saya, yang saya cintai dengan penuh kasih sayang sejak masih bayi, berbalik melawan pada ayahnya dan bahkan berusaha merenggut nyawa ayahnya sendiri ?

Memang terkadang sebagai seorang ayah, karena terlalu disibukkan oleh urusan pekerjaan dan kantor, membuat kita lupa terhadap perkembangan jiwa dan tumbuh kembang anak-anak kita. Seperti halnya John James, karena dia terlalu “ego” untuk mengembangkan karirnya sebagai penulis, akhirnya dia dicerai istrinya, masih untung anak-anaknya masih bisa ikut dengan John dan akhirnya John amat sayang pada kedua anaknya karena dia sadar akibat egonya, keluarganya jadi berantakan.  Menjadi seorang ayah yang baik dan penuh perhatian bagi keluarga memang tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh suatu perbaikan dan keterbukaan pikiran yang terus menerus harus selalu kita lakukan setiap saat. Bagi saya, menjadi seorang ayah (yang baik) merupakan pelajaran seumur hidup. Pepatah juga mengatakan “Kasih Ibu sepanjang hayat, kasih anak hanya sepenggalah”, bagaimana dengan kasih ayah kepada anak ? Apakah kasih ayah hanya sepanjang ada keluarga komplit saja (ada istri dan anak) ? Tapi setelah ditinggal mati atau cerai oleh sang istri dan ditinggal pergi oleh anak akibat hak asuh yang jatuh ke tangan mantan istri, kita tidak lagi sayang pada anak-anak kita ? Silahkan para ayah menjawab hal ini sendiri dari lubuk hati yang paling dalam.

Bagaimanapun kondisi suatu keluarga, seorang ayah juga memegang peranan yang amat penting menurut pendapat saya. Ayah merupakan contoh dan pedoman bagi anak-anak. Bila seorang ayah mengajarkan keburukan pada anaknya, maka kelak pasti sang anak akan bertabiat buruk pula. Namun, jika sorang ayah mengajarkan kebaikan dan sayang pada anaknya, niscaya anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik, lembut, dan mengasihi terhadap sesama. Apabila kita sebagai seorang ayah memang betul-betul amat sayang kepada anak-anak kita, bukan tidak mungkin, meskipun anak kita telah melakukan kesalahan yang fatal, hingga mungkin merugikan orang lain, kita akan tetap membela anak kita hingga titik darah penghabisan terakhir, seperti yang dilakukan oleh John James, hingga dia rela mengorbankan nyawanya demi “menemani” anaknya menjemput ajal. Mudah-mudahan saya bisa seperti John James yang rela berkorban hingga ajal menjemput demi keutuhan keluarga dan kasih sayang kepada anak-anak saya suatu saat kelak.

Am I Not A Good Father ? (Sebuah Renungan)

Am I not a good father ?…

Pertanyaan ini yang selalu mengganggu pikiran saya saat akan kembali ke Jakarta setelah saya pulang ke rumah di Jawa Tengah. Seringkali saya merasakan kesedihan dan kerinduan yang amat mendalam terhadap keluarga, terutama anak saya. Tapi kalau dipikir-pikir, saat ini saya bekerja, jauh dari anak dan istri, juga semata-mata demi mereka. Saya hanya membayangkan seandainya saya berkumpul dengan keluarga di rumah, tetapi saya tidak bekerja, apa jadinya keluarga saya ? Keluarga saya akan kelaparan, anak tidak bisa minum susu, belum lagi istri yang mungkin akan selalu marah-marah karena mendengar gunjingan tetangga akibat saya jadi pengangguran dan luntang-lantung padahal keluarga saya butuh sandang, pangan, dan papan.

Memang bagi saya , jauh dari keluarga adalah hal yang dilematis. Kata orang seperti makan buah simalakama, di rumah tapi nggak kerja salah, jauh dari keluarga juga salah, karena saya tidak mengetahui tumbuh kembang anak saya. Terkadang saya ingin sekali rasanya mengajukan untuk pindah lokasi kerja, tapi apa daya. Dulu pernah saya memberanikan diri mohon ijin pada atasan untuk pindah lokasi kerja, tapi ternyata ditolak. Alasannya karena saya laki-laki dan mestinya saya yang harus mengatur keluarga. OH YEAH ??? REALLY ??? Pikiran itu yang timbul pertama kali setelah ditolak untuk pindah. Bagi saya, keluarga (terutama anak) adalah hal terpenting dalam hidup. Keluarga bagi saya adalah seperti sebuah perusahaan, dimana seorang ayah adalah manager/general manager, istri adalah asisten manager, dan anak-anak sebagai supervisor. Jadi tugas masing-masing sudah ada dan tinggal melaksanakan saja. Tapi apa iya, seorang manager yang baik hanya melakukan pengawasan dan rapat dengan seluruh personelnya hanya 2 minggu sekali saat weekend ? (karena saya pulang ke rumah hanya 2 minggu sekali saat weekend). Hingga tidak mengetahui perkembangan kondisi dan prestasi dari asisten manager dan supervisornya ? Apa betul ini yang saya cari selama ini ?

Sampai saat ini saya belum bisa menjawab semua hal tersebut. Saya tidak ingin menjadi seseorang yang kaya atau punya jabatan tinggi di kantor. Saya hanya ingin menjadi seorang ayah yang baik. Yang tahu dan ada di samping istri saya saat dia membutuhkan saya. Yang tahu dan menolong anak saya jika dia jatuh saat belajar berjalan. Menjadi  tempat berbagi dan pendengar serta memberi solusi terhadap hal-hal yang remeh hingga besar dalam keluarga. Bagi saya, standar kesuksesan itu adalah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Bukan selalu terpisah seperti sekarang, hingga tidak tahu apa yang terjadi dengan kondisi rumah dan keluarga. Sukses itu adalah saya bisa hadir di tengah-tengah keluarga saat mereka membutuhkan saya. Bukan hanya sekedar membutuhkan materi untuk hidup, tapi keluarga juga butuh kasih sayang dan kehadiran seorang ayah.

(Senja Utama Solo, Juni 2011)

KELANGKAAN PUPUK, SIAPA YANG SALAH ?

PENDAHULUAN

Belakangan ini kita dikejutkan dengan berita-berita yang muncul di berbagai media massa tentang adanya kelangkaan pupuk. Hal ini tentu saja mungkin bukan suatu kabar yang aneh lagi di Indonesia. Beberapa kali petani di negara ini telah diuji dengan adanya kelangkaan pupuk. Penyebab dari kelangkaan ini belum jelas diketahui hingga sekarang, selalu saja ada pihak yang berusaha untuk dikambing hitamkan atas terjadinya peristiwa ini. Tetapi, apakah cukup dengan mencari penyebab kelangkaan ini kemudian di masa depan masalah ini dapat terselesaikan ? Ternyata tidak, kelangkaan pupuk masih tetap dan terus terjadi di Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini.

Sudah barang tentu, yang menjadi obyek penderita atas terjadinya peristiwa ini adala petani. Sejak dimulainya revolusi hijau di masa lampau, petani tetap percaya akan kemanjuran pupuk sebagai salah satu alat untuk meningkatkan hasil pertanian di lahan mereka. Benang merahnya adalah, jika hasil pertanian mereka baik dan meningkat, sudah barang tentu kesejahteraan petani juga “diharapkan” meningkat. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, petani selalu menjadi obyek penderita dari industri pertanian sendiri, dimana di dalamnya juga terdapat industri pupuk anorganik yang saat ini sedang langka. Kebijakan pemerintah yang ada saat ini juga selalu menempatkan petani dan pertanian berada di prioritas terbawah. Termasuk juga didalamnya kebijakan mengenai distribusi dan penggunaan pupuk anorganik yang notabene terkadang semakin merugikan petani.

Tulisan  ini semoga bisa membantu dalam mencari akar permasalahan kelangkaan pupuk anorganik yang seringkali melanda Indonesia, agar petani tidak selalu dijadikan obyek penderita dan dalam posisi terhimpit. Petani sendiri juga tidak memiliki kuasa untuk dapat mengatasi permasalahan ini, karena mereka dapat dikatakan kaum proletar yang selalu dipaksa untuk tunduk dan menerima keadaan serta kenyataan yang pahit bahwa taraf hidup mereka tidak akan meningkat sampai kapanpun. Mari kita coba telaah, masalah krisis pupuk ini dari berbagai sudut pandang dan pikiran terbuka.

INDUSTRI BENIH DAN VARIETAS TANAMAN

Sejak dimulainya revolusi hijau beberapa tahun yang lampau, penelitian dan industri benih hibrida telah dimulai dan beberapa tahun belakangan ini semakin pesat perkembangannya. Telah jutaan varietas tanaman hibrida yang telah ditemukan dan hasilnya juga sangat memuaskan petani sebagai pengguna akhir dari produk industri pertanian ini. Tetapi, konsekuensi yang harus ditanggung oleh petani akibat penggunaan benih hibrida ini juga sangat besar. Untuk dapat menghasilkan produksi tanaman yang maksimal dari benih yang dikategorikan sebagai benih hibrida atau benih varietas unggul ini, petani harus mengeluarkan biaya ekstra untuk meningkatkan asupan nutrisi bagi tanaman. Asupan nutrisi untuk tanaman ini sudah barang tentu harus dipenuhi dari penggunaan pupuk anorganik, agar pengaruhnya dapat secara nyata nampak pada penampilan tanaman yang ditanam. Dapat dikatakan dengan bahasa yang lebih awam, benih varietas unggul atau jenis benih hibrida ini sangat rakus akan pupuk anorganik. Memang, selama ini petani selalu dituntut untuk  meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian mereka, agar dapat selalu mencukupi kebutuhan pangan dari masyarakat yang pertumbuhannya jauh melampaui produksi tanaman pangan yang berasal dari tanah pertanian.

Paradigma tentang varietas benih hibrida yang rakus pupuk ini harus segera diubah. Para peneliti dan pengusaha yang terlibat langsung dalam industri benih hibrida ini seharusnya lebih berpihak kepada petani sebagai konsumen akhir dari produk mereka. Penelitian di perusahaan benih hibrida maupun di lembaga penelitian milik pemerintah seharusnya dapat menciptakan varietas tanaman yang lebih efisien dalam memanfaatkan nutrisi yang telah diberikan petani melalui pupuk anorganik. Hendaknya, para pemulia tanaman pangan pada khususnya, harus dapat menciptakan suatu jenis varietas unggul tanaman yang kualitas dan kuantitasnya baik, tetapi juga lebih efisien dalam penggunaan saprodi, terutama pupuk anorganik. Memang tidak mudah dalam mewujudkan tantangan ini, tetapi tidak ada salahnya untuk dicoba diwujudkan, agar petani tidak selalu kalang kabut dan menjadi pesimis gagal panen apabila terjadi krisis pupuk anorganik seperti saat ini. Industri pertanian sendiri, terutama industri benih, pada prinsipnya adalah sama dengan jenis bisnis lainnya yang lebih mengutamakan atau berorientasi kepada keuntungan atau margin yang bisa diperoleh. Tetapi terkadang mengabaikan kaidah-kaidah tentang social responsibility kepada masyarakat terutama petani. Industri benih sendiri cenderung hanya berkutat pada bagaimana produk benihnya bisa laku di pasaran, meski efisiensi terhadap penggunaan saprodi sebagai pendukung dari benih tersebut untuk menjadi tanaman yang produktif dikesampingkan. Jika kita mau berpikir secara mendalam, petani justru akan lebih tertarik membeli atau menggunakan produk yang lebih efisien, karena akan sangat berpengaruh terhadap perhitungan biaya usaha tani mereka. Apabila benih hibrida yang dijual di pasaran memiliki keunggulan ini hingga dapat tumbuh menjadi tanaman yang efisien pula dalam pemakaian saprodi, bukan tidak mungkin akan semakin mendorong penjualan benih itu sendiri menjadi semakin laku keras di pasaran.

INDUSTRI PUPUK

Dalam menghasilkan satu jenis pupuk yang sifatnya majemuk (lengkap unsur hara essensialnya), sebuah pabrik pupuk harus membeli bahan baku yang berasal dari penambangan secara langsung di alam. Sebagai contoh, untuk menghasilkan jenis pupuk yang bermerk dagang SP36 misalnya, sebuah pabrik pupuk paling tidak harus menyediakan unsur Fosfor dan Sulfur yang semuanya berasal dari penambangan secara langsung di alam. Begitu pula dengan jenis pupuk KCl yang membutuhkan tambang Kalium (Potassium) di alam. Jika kita mau menyadari, suatu saat nanti, bukan tidak mungkin unsur yang biasa ditambang untuk keperluan pembuatan pupuk ini akan habis. Lalu, pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi jika suatu saat, unsur-unsur ini benar-benar habis di alam ? Otomatis pabrik pupuk akan tersendat produksinya, bahkan mungkin bisa saja terhenti sama sekali produksinya yang berujung pada krisis pupuk anorganik. Hal ini tentu saja akan semakin mempersulit posisi  petani sebagai konsumen utama dari pupuk, disamping harga saprodi lain yang sudah mahal dan mungkin juga sudah langka keberadaannya.

Apabila kita mau kembali mau menilik ulang sistem budidaya yang telah dikembangkan pada jaman purba, jauh sebelum teknologi pembuatan pupuk anorganik ditemukan, maka pupuk yang digunakan adalah jenis pupuk organik yang berasal dari seresah daun maupun dari sisa-sisa tanaman yang dikembalikan lagi ke tanah. Memang pada saat itu, hasil produksi tanamannya bisa dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan budidaya tanaman yang menggunakan pupuk anorganik, tetapi kestabilan tanah akan pemenuhan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dapat terus terjaga. Penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan juga akan membawa dampak negatif pada tanah maupun tanaman, ambil saja contoh tentang kenaikan pH tanah menjadi lebih masam sehingga tidak layak lagi bagi tanaman untuk tumbuh pada tanah tersebut. Selain itu, jika kita coba integrasikan dengan penggunaan benih hibrida yang efisien, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat pula dilakukan adanya rekayasa tanaman (bisa secara genetik) yang dapat membuat tanaman tersebut lebih responsif pertumbuhannya apabila menggunakan pupuk organik Dengan kata lain, tanaman yang ditanam dirancang untuk dapat lebih responsif dan produksinya meningkat apabila dipupuk dengan menggunakan pupuk organik. Jika kita telah sadar dan mau untuk mencoba melakukan perbaikan pada tanah dan tanaman dengan menggunakan metode dan teknik budidaya yang lebih alamiah atau organik, niscaya kelangkaan atau krisis pupuk anorganik yang terjadi saat ini bukan suatu masalah lagi dan tidak akan menimbulkan kekacauan di kalangan petani dan produsen pupuk. Sekali lagi, atas nama komersialisasi produk industri, mungkin hanya sedikit sekali pabrik pupuk yang mau dan berani mencoba untuk kembali memproduksi secara massal pupuk organik.

PERANAN PEMERINTAH

Seperti yang telah kita ketahui bersama, Indonesia di masa lampau pernah mengalami jaman keemasaan dalam swasembada pangan. Sebagai lumbung pangan yang bisa dikatakan terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah menerapkan pembangunan berkelanjutan berbasiskan pertanian dan industri yang mendukung pertanian. Tetapi, apa yang terjadi pada saat ini ? Masyarakat Indonesia sedang mengalami krisis pangan akibat kebijakan pemerintah yang mendukung bidang pertanian semakin berkurang. Saat ini Indonesia lebih cenderung membuat kebijakan yang kearah sektor industri maupun investasi yang sama sekali tidak berpihak pada pertanian. Akibat yang timbul adalah sering terjadinya kasus gizi buruk dan kekurangan pangan pada masyarakat Indonesia, karena sektor pertanian kurang mendapat perhatian. Demikian pula dengan kebijakan untuk menarik investor di sektor agribisnis yang terkadang semata-mata hanya menguntungkan investor tersebut, tanpa memperhatikan kesejahteraan petani dan masyarakat. Dalam kebijakan mengenai pupuk sendiri, hingga saat ini pemerintah selalu terlambat mengantisipasi terjadinya krisis pupuk. Hal ini selalu berulang dan terulang lagi pada tahun-tahun berikutnya, tetapi herannya, mengapa pemerintah sendiri tidak dapat memetik pelajaran dari apa yang telah terjadi ?

Sebenarnya krisis pupuk ini sendiri tidak perlu terjadi apabila pemerintah mampu memberikan solusi alternatif bagi petani dan mampu mengatur pengelolaan pupuk itu sendiri melalui regulasi. Hal pertama yang mungkin bisa dilakukan adalah membuat regulasi mengenai produksi dan distribusi pupuk itu sendiri, karena rata-rata, industri petrokimia di Indonesia (terutama pupuk), lebih banyak dikuasai oleh BUMN. Seharusnya pemerintah memiliki standar baku tentang pemenuhan kebutuhan  pupuk oleh petani, sehingga tidak mungkin akan terjadi empty stock di pasaran. Prakiraan tentang konsumsi pupuk dan standar baku minimum produksi ini sangat diperlukan karena akan sangat besar pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan petani akan pupuk. Kembali lagi, jika kita bicara mengenai good governance, sudah seharusnya ada transparansi mengenai data stok pupuk sendiri dan prediksi tentang pemenuhan kebutuhan pupuk oleh petani.

Kedua, saat ini petani di Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai petani yang minded terhadap pupuk anorganik. Pemikiran ini timbul karena selama ini pemerintah dalam penyuluhannya selalu mengutamakan penggunaan pupuk anorganik, bukan mencari dan mengenalkan teknologi pupuk organik. Baru setelah sering terjadi krisis pupuk, kini pemerintah mulai aktif berbicara mengenai pupuk organik, tetapi sudah terlambat karena baik benih dan tanaman hibrida yang ditanam sudah dirancang untuk rakus pupuk anorganik, serta tanah pertanian yang telah digunakan sudah tidak mampu menyediakan unsur hara secara alami lagi. Seperti yang telah dijelaskan di depan, pupuk organik sendiri mampu menjaga kestabilan unsur hara di dalam tanah sehingga prinsip pertanian yang berkelanjutan agar dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dapat terwujud.

Ketiga, hasil penelitian dari lembaga penelitian di Indonesia di bidang pertanian, nampaknya masih belum menyentuh tentang teknik budidaya tanaman yang lebih efisien dan efektif. Apabila telah dikembangkan suatu metode bercocok tanam yang lebih efisien dan efektif, bukan tidak mungkin nantinya petani akan semakin tertarik menggunakan teknologi tersebut. Selama ini, yang sering terjadi di lapangan adalah petani lebih mempercayai teknologi budidaya tanaman yang telah dikembangkan oleh swasta, baik dari produsen pupuk maupun dari produsen benih, karena telah teruji validitasnya dan dapat dibuktikan secara langsung di lapangan. Jika lembaga penelitian di Indonesia telah berpikir kearah tersebut, maka kepercayaan petani kepada pemerintah mulai akan terbentuk, sehingga akan menimbulkan efek positif terhadap pembangunan pertanian sendiri di Indonesia karena petani merasa telah dilindungi dan dibantu oleh pemerintah.

PENUTUP

Memang mengatasi krisis tidaklah semudah membalik telapak tangan, tetapi bagaimana kita dapat mengambil pelajaran dari krisis yang terjadi agar tidak terulang lagi di masa mendatang. Krisis pupuk ini sendiri memang seperti lingkaran setan yang tidak mungkin akan berakhir, jika tidak ada good will dari semua pihak yang terlibat didalamnya. Hal yang paling dibutuhkan saat ini adalah, bagaimana memperbaiki sistem yang telah ada sekarang ini karena sudah terbukti tidak berhasil dilaksanakan, dan berusaha mencari alternatif pemecahan masalah yang bisa menguntungkan bagi semua pihak, bukan hanya mencari kambing hitam semata untuk disalahkan. Seperti kata pepatah “Bahkan keledai yang paling bodoh pun, tidak akan terjerumus ke jurang yang sama hingga dua kali”.

KEPUSTAKAAN

Sisworo, Widjang H., Revolusi Hijau dan Swasembada Beras. November 2008

Notohadiprawiro, Tejoyuwono. Revolusi Hijau dan Konservasi Tanah. Ilmu Tanah UGM 2006

Hamzah, Fahri dan Sunarsip. Mengurai Kelangkaan Pupuk. Republika, Selasa 11 Maret 2008

Anonymous. Kiat Antisipasi Kelangkaan Pupuk. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi, Direktorat Jenderal Perkebunan. 26 November 2008

Sianturi, G. Kemelut Kelangkaan Pupuk dan Ketahanan Pangan (Analisis Bustanul Arifin). www.gizi.net (dari Kompas 20 Mei 2002)

Irham. Mungkinkah Terjadi Revolusi Hijau Babak II ?. Kedaulatan Rakyat, Jumat 15 September 2006.

REWARD AND PUNISHMENT

Friends, I bet that you’re still working now, or at least you’re still try to hold on with your job now. For every employee, in any kind of company or institution, must recognize the words “Reward and Punishment”. This always stated clearly in the company or institution guidance book. Sometimes we understand this reward and punishment term in form of rules or regulations applied by the company or institution. But, have you ever realized about this outside the office space ? Friends, in ancient time, this term of reward and punishment has already applied very strict when we ever read about history book of ancient kingdom. It will stated in the form of norms and ethics that must be obey by all citizens in the kingdom. People always love to take reward than the punishment. Since we were young, we were always educated not easily punished by other of our own mistakes. In real life, sometimes we can’t predict what we’ll get today, either it’s reward or a punishment. Now, why we eager not taking the punishment better than a reward ? And sometimes blaming others to safe ourselves from the punishment ? In my view, people doing this because they’re not ready to be “wrong”. They ashamed being wrong. They’ll try to lessen this wrong thing to achieve the reward that being offer to us. This thing is a human nature, because we’re already told that wrong is bad and will get the punishment. But, being good will get the reward. Sometimes we’re not ready being punish by condition. We are always seeking for reward in this life. This mind setting for always seeking reward would led us into a snob, greedy, and irresponsible person. Reward and punishment should be balance in this life, because we know that there’s no perfect life in this world. If we’re always ready or set our mind to always taking the punishment, we’ll not afraid about anything that sometimes made us become wrong. In an easy definition, we can say, we’re not afraid to be wrong and taking the punishment. Basically, the existence of punishment is to give a lesson for us that something we’ve done before was wrong and not following the rules or regulations. Sometimes, we try to avoid the punishment, but we can’t force it. Human being always a human being that can’t runaway from the mistake. About the reward, basically it’s to honor our achievement in anything. I would like to say in here, to get a reward is a common thing, but to accept the mistake and take the punishment also, is a marvelous thing. Why I can say this ? Because most of us was “designed” by our norms in this life, always being the best in everything, not to accuse our mistake or taking a punishment. So Friends, now, are you ready to take the punishment either than reward ?

BLANK MIND

When I write this, suddenly I’ve no idea what will I write for you, Friends. I don’t have any fresh idea to write at this moment. My brain seems empty and stuck, seems that my brain doing a strike for me because I always use it for a hard and deep thinking. I bet that you ever through this “blank mind” in your life sometimes. But the question now is, what will we do with this kind of condition ? The condition that we were really didn’t have any idea to share or discuss with others. Sometimes, our mind need to take a rest for a while. Mind resting method for every person is different. One person need a certain sleeping hours that rest his/her body and mind. But others, can made their mind to relax by listening music or playing a game. When we seems “overloaded” anytime, try to make yourself comfortable by doing anything that you like. So that, your mind, especially your brain will refresh again and ready to give a fresh idea. But, other way to reduce this “blank mind” condition can by increasing our knowledge of everything. Based on our knowledge, you’ll find a better idea to share because you’ve added your capacity of understanding to higher level. Sometimes people like us, keep staying in “comfort zone” and never learn about something new that really can increase our knowledge and understanding. So that, our mind become lack of exercise and start to “blank” occasionally. This is very dangerous condition, because it’ll affect our work performance. We’ll become slow and lazy, and the most scariest thing is, Boss has give a sign to us that we are not creative anymore. What a dangerous condition. Friends, I’ve one note for you in this writing, please always exercise your mind, so that you can avoid the “blank mind” condition every time you get stuck in a problem.

LIFE DICTIONARY

Friends, I bet that you’ve at least one dictionary at your bookshelf. Most of you have an English Dictionary or Indonesian Dictionary. If you see the detail of dictionary, it’s arrange through the alphabet, from A to Z. It’s really easy to use and we can use it quickly if we need to find a definition of a word. Nowadays, dictionary become online. Anyone from every part of the world can access it through the internet. We don’t have to open page per page like common dictionary that we’ve in our bookshelf. Now, what’s the connection between dictionary and life ? If you curious to know what’s my idea in writing this. Friends, everyone in this world has an experience in their life. This experience sometimes carry a good or bad memories in our life. Through this experience, we can define what’s the meaning of our life. Good memories will result a good understanding to what good experience we ever had. That’s also in vice versa. Not like common dictionary that we often use, but a life dictionary much like a compendium of our experience, our mental exploration, or even our path to find a new knowledge. We don’t need to open it page by page, but it’ll suddenly come “online” when we try to seek or search for a problem that we may face. We can easily finding it when we face the same problem from our previous experience. This dictionary of life will never be too old and can’t be used anymore because the word has already out of date, but it always refresh by our new experience or knowledge, every time we learn something new. Amazingly, life dictionary never been too thick to read, though the pages increasing by our age. We can always refresh and open it anytime we want or need it. So, Friends, please keep your life dictionary always updated and refresh anytime :-).

CHASING THE WIND

I got this writing idea when I was trapped in an Internet Café yesterday. I was trapped because rain pouring down heavily and I don’t have any courage to go home at that moment. Wind blowing hard and thunder start coming also. I’m just wondering at that time, how destructive the wind can be. Near my rent room last week, there was an old tree that fell down because of the hard wind. All roots and the body of tree can’t resist because of the wind power. If you’re movie lover, I bet that you ever seen a movie titled “Twister”. In that movie, all the researchers, or I may say climatologists/weather expertise try to measure the power of twister or whirlwind and its pathway. So that, they  can predict when that destructive wind will coming and could lessen the victim because of this disaster. What a courageous spirit of chasing and finishing all the research about whirlwind. This kind of spirit really made me realize to what I’ve done now. On the other side of this “normal” life, other people still seeking and searching for uncertainty of something useful for humanity. The restless spirit to know each and every detail of climate behavioral that might be useful to others. If we want to look at ourselves right now, have we done and ever think about that also ? I’m not judging anybody in here that all we’ve done is not useful for others. The weather researchers never asked for a great reward in their research for humanity. They only want their research result could safe others and human existence in this world. They don’t want to be a hero in this world, but purely pushed by curious thinking about anything that wrong and how to mend it back. Now, I don’t want to talk about those research and researcher in here. I would like you to think, deep in your mind, have you done anything in this life based on projection or prediction for a better achievement ? The wind absolutely can’t be chased. It’ll come suddenly and gone quickly, but the effect of this could cause a lost of thousand soul. Chasing wind in here means the spirit to learn about anything that come uncertain and has a very high probability. So that, we can get any benefit for ourselves in projecting, or at least, have a prediction for anything. We must have a clear mind and observe about anything that uncertain in this life. Uncertainty sometimes made us uncomfortable, but we’ve to face it either we like it or not. But, the most important thing is, how to make the uncertainty become something certain. If you’ve succeed to know the pattern of this uncertainty, you’ll finally found the solution for that uncertain matter. The advanced process of this knowledge is developing an action to anticipate all the uncertain process or incident. That’s why we know the word “Planning”. In planning, we’ve a purpose to gain something and we already put our path where to go. But, a good planning will never run so smoothly, that’s why in the end of every process, we’ve an evaluation. This kind of spirit from the researcher always giving a good learning in planning, though there’s no good method invented already better than “trial and error” procedures. But, at least, we’ve a pathway to what we will do next if our plan is fail, this we can call a backup plan. So, Friends, are you ready to chase the wind now ?